Indahnya setiap langkah dalam berbagi


Rabu, 21 Maret 2012

KESADARAN MASYARAKAT KITA MASIH RENDAH TERHADAP PENTINGNYA PROTEKSI DIRI

Asuransi Jiwa Itu Mewah untuk Warga Miskin


Kompas.com membuat liputan khusus tentang asuransi selama dua minggu mulai tanggal 17 Oktober 2011. Entah kebetulan atau tidak, tanggal 17 Oktober dikenal sebagai Hari Pemberantasan Kemiskinan Dunia. Adakah kaitannya antara asuransi dan kemiskinan? Kita lihat nanti. Yang jelas, berbagai artikel, tips memilih asuransi, atau testimoni tentang asuransi pun bertebaran di Kompas.com. Memilih produk asuransi yang tepat, menyiapkan dana pendidikan anak, menyiapkan dana darurat, atau  mengenalkan berbagai varian produk asuransi jiwa yang semakin menggiurkan, baik sebagai upaya proteksi diri maupun investasi bagi yang mampu. Namun semua pasti ada harganya. Masa depan gemilang bak cermin dari masa kini yang bergelimang uang, setidaknya itulah gambaran bisnis asuransi komersial.  Kenyamanan masa depan  pun dibeli dengan sejumlah premi saat ini. Jika premi tidak terbeli, masa depan bisa saja suram.
Lalu apakah asuransi jiwa merupakan barang mewah yang tidak terbeli masyarakat miskin?

Berani atau Ironi

Mengutip publikasi Sigma World Insurance in 2010 yang dirilis oleh Swiss Re pada tahun 2011, Indonesia tergolong negara yang terpuruk dalam upaya pelindungan atau proteksi terhadap jiwa manusia, yang diukur dengan dua indikator yaitu Insurance Density dan Insurance Penetration.  Total premi- asuransi umum dan asuransi jiwa- negara dengan penduduk 240 juta jiwa ini pada tahun 2010 sebesar 10,7 Milyar Dollar, atau meningkat 28,91 persen dibandingkan tahun 2009. Dengan nilai sebesar itu, Indonesia menempati peringkat ke-11 dari  27 negara di Asia. Peringkat pertama di Asia ditempati oleh Jepang, sedangkan Singapura, Thailand, dan Malaysia ada di peringkat 7 sampai 9.  Jika total premi tersebut dibagi dengan GDP- dikenal denganinsurance penetration- maka nilanya hanya 1,5 persen dari GDP. Dengan insurance penetration sebesar itu, Indonesia menempati  peringkat ke-16. Namun jika ukurannya per kapita, posisi Indonesia makin melorot, yaitu pada posisi ke 22 di Asia, dengan nilai premi per kapita sebesar 45.8 Dollar.  Itu adalah nilai premi per orang, yang jika dirupiahkan hanya sebesar- dengan kurs 8900- sekitar Rp 407 Ribu saja.
Khusus untuk Asuransi Jiwa, total preminya sebesar 7.2 Milyar Dollar, atau meningkat sebesar 31.1 persen dibanding 2009. Posisi Indonesia berada pada peringkat ke sepuluh di Asia, dan Singapura, Thailand, dan Malaysia persis berada di atas Indonesia. Jika dihitung per kapita- atau dikenal dengan insurance density- nilai premi asuransi jiwa per kapita adalah sebesar 30,9 USD, atau hanya Rp 275 Ribu. Merosotnya peringkat insurance density Indonesia tidak terlepas dari beban jumlah penduduk yang justru masuk peringkat ke-4 di dunia.
Kita lihat informasi  tambahan versi pemerintah. Hasil penelitian Standard Chartered berdasarkan data  Kementrian Keuangan yang dipaparkan di Kompas.com (12/08/2011) dengan tajuk berita: “Asuransi Jiwa, Motor Pertumbuhan Asuransi”. Total aset industri asuransi di Indonesia mencapai Rp 400 triliun pada tahun 2010. Asuransi jiwa membukukan aset Rp 183 triliun, asuransi sosial dengan aset Rp 107 triliun, dan aset asuransi sektor publik sebesar Rp 61 triliun. Adapun asuransi umum memiliki aset Rp 45 triliun dan reasuransi beraset Rp 2,5 triliun. Secara keseluruhan, premi yang dibukukan pada tahun 2010 sebesar Rp 134 triliun dengan 142 perusahaan.
Pemegang polis asuransi jiwa di Indonesia sekitar 16,75 juta jiwa atau 13,9 persen dari 237 juta penduduk Indonesia, seperti disajikan pada berita Kompas.com (16/7/2011) di sini.  Lalu kemanakah sisa penduduk Indonesia lainnya? Disinilah letak ironinya. Asuransi jiwa- khususnya komersial atau perorangan- merupakan produk yang tidak murah. Semakin tinggi pertanggungan- yang berarti keuntungan finansial atas resiko yang terjadi- maka semakin tinggi pula preminya. Jelas, dengan membeli premi kita mengorbankan konsumsi atau simpanan dana. Adakah masyarakat miskin mampu membeli premi itu?
Asuransi jiwa secara sederhana berarti perlindungan terhadap resiko kehilangan aset atau finansial karena ketidakmampuan atau kehilangan kehidupan seorang insan. Namun, seberapa banyak keuntungan finansial yang bisa diraih ketika resiko hidup dan kehidupannya yang dipertanggungkan terjadi sangat tergantung pada kemampuan individu dalam membayar premi. Asumsinya, ini berlaku untuk asuransi komersial.
Asuransi kesehatan, pendidikan anak, dan kesejahteraan masyarakat miskin memang menadi resiko utama di Indonesia yang belum ditangani dengan baik, baik oleh masyarakatnya sendiri maupun pemerintah. Tapi, rasanya tidak mungkin semuanya ditanggung pemerintah, dan tidak semua penduduk mampu untuk itu. Harus ada skala prioritas. Kalau toh ada asuransi yang preminya kecil-kecil pun diselenggarakan melalui asuransi sosial yang dikelola oleh pemerintah. Karena preminya kecil, ya santunannya pun tidak berlebihan juga, tidak bisa menjamin masa depan atau hari tua.
Namun, tidak menutup kemungkinan ada sebagian orang yang secara finansial tergolong mampu ternyata belum membeli asuransi. Kondisi ini bisa karena ketidaktahuan, atau belum memahami fungsi dan peran asuransi sebagai proteksi terhadap resiko yang bisa menimbulkan bencana finansial di masa datang. Atau, ketidakpedulian terhadap asuransi bisa juga karena merasa sudah bisa menjamin kekayaan untuk tujuh-turunan. Ada sinyalemen yang mengatakan bahwa produk asuransi memang hanya untuk masyarakat yang tidak terlalu kaya, namun tidak miskin juga. Setidaknya kekhawatiran mereka dengan masa depan, khususnya buat ahli warisnya, membuat mereka tertarik dengan asuransi.

“Pain No Gain”

Istilah No Pain No Gain dikenal dalam ilmu ekonomi, khususnya dalam bisnis. Sebuah jargon yang menunjukkan keberpihakan terhadap pengorbanan dalam urusan uang atau keuntungan finansial. Rela berkorban untuk mendapatkan keuntungan. Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian. Tidak ada secangkir teh gratis di dunia bisnis. Semua ada harganya. Mau untung, harus rela merogoh saku tebal. Jika tidak, kita bisa buntung atau hidup seolah untung-untungan.
Tapi, dalam kehidupan nyata, bisa saja orang sudah menderita, tetap saja buntung. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah bersakit-sakit, tetap tidak punya duit. Sudah miskin, boro-boro bisa membeli masa depan. Asuransi yang menjual masa depan, seolah masih menjadi ironi bagi masyarakat miskin. Istilahnya seolah berubah menjadi “Pain No Gain” yang menggambarkan ketidakberdayaan masyarakat miskin- yang sudah menderita- untuk memperoleh manfaat asuransi.
Ketidakmampuan membayar premi merupakan indikasi bahwa sebagian masyarakat tidak mempunyai uang berlebih untuk sekedar membeli premi agar bisa meninggalkan warisan yang layak kepada ahli waris atau keturunannya, atau termasuk menjamin hari tuanya nanti. Produk asuransi pun bisa terpeleset menjadi produk yang hanya diperuntukkan orang kaya saja. Asuransi pun menjadi produk impian bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Akhirnya, saya berpendapat bahwa masyarakat menderita tidak mendapat apa-apa. Disinilah letak ironinya dari makna rendahnya penetrasi dan densitas asuransi jiwa di Indonesia.
Memang bisa saja ada orang kaya yang belum mempunyai proteksi asuransi. Kondisi ini bisa disebabkan aspek sosialisasi dari pelaku asuransi yang belum efektif, atau memang orang tersebut cukup pemberani. Ada satu skenario lain, tumpukan harta masih cukup untuk tujuh turunan. Jika demikian adanya, kita bisa memahami mengapa mereka tidak melirik asuransi. Rasanya masih ada orang-orang yang tergolong pemberani. Berani menghadapi kematian tanpa harus khawatir menelantarkan anak-cucunya karena semua sudah terjamin secara finansial. Namun, seberapa banyak orang-orang seperti ini, tergolong langka di Indonesia, bukan?
Perlindungan terhadap masyarakat Indonesia sebenarnya sudah difahami oleh pemerintah dan DPR. UU Sistem Jaminan Sosial pun sudah diberlakukan sejak pemerintahan ibu Megawati pada tahun 2004. Namun, UU tersebut sepertinya belum ada gaungnya. Dampak terhadap masyarakat Indonesia nyaris tak terdengar. UU tersebut memang masih menunggu terbentuknya lembaga yang mempunyai kewenangan dalam mengelola dana untuk jaminan sosial. Pada posisi pembentukan dan kewenangan lembaga inilah pemerintah dan DPR masih berkutat dan berdebat. RUU tentang lembaga tersebut masih menuai kontroversi dan perdebatan.
Terlepas dari upaya pemeritah dan DPR dalam membangun sistem jaminan sosial yang patut mendapat apresiasi, makna dari penetrasi dan densitas asuransi jiwa yang rendah adalah masih terpinggirkannya masyarakat miskin. Hidup dan kehidupannya pun tanpa perlindungan. Buntung atau untung-untungan saja. Asuransi jiwa pun seolah masih seperti mimpi bagi sebagian besar penduduk Indonesia.
*****
Orang-orang pemberani di Indonesia mungkin masih banyak di Indonesia, termasuk orang-orang yang berani menghadapi masa depannya secara finansial. Orang-orang nekad pun pasti ada, orang yang tidak mempedulikan keselamatan jiwa dan masa depannya. Namun, khusus untuk penetrasi dam densitas asuransi jiwa yang masih rendah di Indonesia, saya berpendapat bahwa kondisi tersebut merupakan ironi yang perlu dicari solusinya. Masyarakat miskin mungkin tidak sempat bermimpi tentang masa depan karena hari ini pun seolah sudah menjadi mimpi buruk. Jadi, asuransi jiwa tetaplah barang mewah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar